Ads Here

Jumat, 01 Mei 2020

Mengenal Filsafat Positivisme

Oleh : Anggit Pragusto Sumarsono

Dalam wikipedia dijelaskan bahwa pada bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, kata positivisme sangat berkaitan erat memakai istilah naturalisme dan sanggup dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte dalam abad ke-19. Comte beropini, positivisme merupakan cara pandang dalam memahami dunia menggunakan dari sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika terdapat) antara ilmu sosial dan ilmu alam, lantaran warga

Masih dari sumber wikipedia dijelaskan bahwa Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Prancis, 19 Januari 1798 – meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Comte juga merupakan Tokoh yang pertama memciptakan istilah sosiologi, sehingga ia mendapat julukan sebagai Bapak Sosiologi Dunia.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Dalam positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris jadi aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.

Menurut Arif Wibowo,terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Proses Positivisme

Terbangunnya sebuah visi yang komprehensif tentulah lahir dari sebuah pemikiran sangat matang. Ini tidak terlepas dari lingkungan dan masa yang mempengaruhi suatu perenungan. Begitulah konsep yang terbangun pada diri Auguste Comte dengan gagasan tentang filsafat positivisme.

Ini bisa dilihat dari perjalanan hidupnya. Ia menghabiskan masa kecilnya dalam lingkungan bangsawan katolik, di samping itu keadaan negeri Prancis masih berada dalam genggaman Raja Louis XVI. Saat puncak krisis yang melanda Prancis yang telah berada di bawah pemerintahan monarki absolut selama berbad-abad.

Menginjak masa remaja, Comte yang sudah masuk ke dunia pendidikan tinggi di Ecole Polytechnique di Paris dan kedokteran di Montpellier. Pola fikir yang telah terasah dengan daya nalar yang tajam tentu terganggu dengan kondisi negaranya yang berada di bawah pemerintahan monarki absolut yang memang dilanda revolusi. Dikenal dengan Revolution Francaise, masa ini menjadi periode sosial radikal pergolakan politik yang meluas hingga ke seluruh Eropa.

Pada diri Comte, bisa dilihat dua sisi yang juga bergejolak. Di satu sisi dia melihat sistem pemerintahan bobrok dan korup yang merampas hak-hak kemanusiaan, di sisi lain agamanya mengajarkan tentang keadilan dan kasih sayang. Padahal di masa itu, masih dipercaya bahwa raja sebagai wakil Tuhan dalam memelihara kemaslahatan masyarakat. Dua paham yang sangat bertolak belakang itu menyebabkan ia hengkang dari Paris, kemudian berguru pada Claude Hendri de Ruvroy yang lebih dikenal dengan nama Saint-Simon, pada 1817.

Saint Simon ini seorang sosialis di Prancis. Ilmuan inilah yang menganjurkan bentuk sosialisme teknokratis, yaitu perekonomian dikelola dan dipimpin para industrialis dan para ahli yang diangkat berdasarkan prestasi. Ide-ide Simon ini tentu saja mempengaruhi pemikiran Comte, hingga lahirlah filsfat positivisme.

Dari kenyataan hidup dan proses belajar serta perkembangan keilmuan yang dimilikinya, Auguste Comte mengemukakan teori mengenai perkembangan akal budi manusia yang secara linier bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Bermula dari tahap mistis (teologis) kemudian metafisis, lalu tahap positif.

Tahap Teologis. Comte membagi tiga macam pola pikir manusia dalam tahap teologis ini. Pertama animisme, di sini manusia belum mengenal konsep umum pada makhluk-makhluk. bahkan menganggap tiap benda atau makhluk merupakan satu sosok individu yang berbeda dengan yang lain. Setiap benda memiliki rohnya masing-masing. Pola fikir seperti ini ada dalam manusia purba. Animisme ini jamak dilihat dalam proses sesajen pada pohon-pohon besar. Bahkan di Indonesia hal semacam ini masih hidup di beberapa daerah, misalnya di Kalimantan pada suku dayak, dan di Nias, Sumatera Utara.

Kemudian, yang kedua adalah politeisme. Di sini pemikiran manusia mulai berkembang, roh tidak lagi berada di tiap benda, namun ada pada kelompok benda yang memiliki kesamaan tertentu. Secara harfiah, polteisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly theoi yang berarti banyak Tuhan. Politeisme adalah kepercayaan pada dewa-dewa. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.

Selanjutnya, adalah monoteisme. Di sini manusia sudah mempercayai hanya ada satu roh yang mengendalikan alam ini, itulah Tuhan. Cara berpikir ini memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan budaya, sosial, dan pemerintahan, hingga sekarang ini. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup masyarakat.

Tahap Metafisis.Comte menyebutkan tahap metafisis ini sebagai modifikasi dari teologis, atau tahap peralihan. Manusia mulai merombak cara berfikir, mencari penerangan yang logis dan berusaha keras menggali hakikat atau esensi dari sesuatu. Analisis berfikir ditingkatkan, adapun dogma agama dan irasionalitas mulai ditinggalkan.

Pada tahap metafisis ini manusia mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Manusia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk mencari bukti-bukti yang nyata terhadap pandangan suatu doktrin.

Tahap metafisik menggunakan kekuatan atau bukti yang nyata yang dapat berhubungan langsung  dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak.

Tahap Positif.Pandangan hidup yang awalnya didasarkan pada dogma agama, sekarang beralih digantikan ilmu pengetahuan positif. Pada tahap ini, Comte menafikan segala sesuatu yang non-inderawi. Ia mengakui bahwa cara pandang itu sebangun dengan pendahulunya seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, Galileo Galile, Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon.

Pandangan mereka, pengetahuan hanya yang didasarkan pada fakta-fakta logis dan empiris, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmiah, yakni eksperimen, observasi, dan komparasi.

Comte mengatakan bahwa pengetahuan yang tidak berdasarkan fakta-fakta positif dan mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, itu fantasi atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan spekulasi atau fantasi liar inilah yang disebutnya teologi dan metafisika.

Menurut Comte, semua gejala dan kejadian alam dijelaskan berdasarkan observasi, eksperimen, komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi pada pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan.

Comte pun menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam dirinya sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun ketertiban (order). Ia menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan akan membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman, dan harmonis.

Selain itu, ilmu pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk berperang dan melakukan penindasan terhadap manusia dan alam.

*Tulisan ini diambil dari sejumlah sumber, antara lain wikipedia, dan beberapa journal, serta karya ilmiah

Baca Juga :

Model Hiasan Kaligrafi Terunik

Tutorial Beriklan di FB Ads,

TeknikMahir Copywriting dalam Blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar